Desember 2, 2009

Nilai Disolusi In Vitro Dalam Pengembangan Produk

Posted in scientific articles tagged pada 6:05 am oleh Pharmacy Education

oleh: Goeswin Agoes

Disolusi adalah uji karakteristik yang umum dilakukan di industri farmasi, untuk memamndu mendesain formulasi dan untuk mengontrol produk. Sering merupakan persyaratan uji kinerja untuk sediaan padat, pets transdermal dan suspensi.

Disolusi juga merupakan ukuran pelepasan obat secara invitro sebgai fungsi waktu, yang merefleksikan reprodusibilitas proses manufaktur dan dalam beberapa kasus kinerja obat in vivo.

Manfaat uji disolusi sebagai uji kinerja untuk kontrol kualitas
Untuk sediaan yagn dikembangkan melalui pendekatan konvensional, uji disolusi merupakan alat kontrol kualitas untuk memantau konsistensi antara bets dan untuk membedakan dampak formulasi atau perubahan proses pada kinerja produk> Kontrol kualitas menurut uji disolusi untuk suatu produk merupakan hal spesifik untuk bentuk sediaan tertentu. Sifat hidrodinamik dan media, dapat dipilih untuk menjamin konsistensi antar bets produk, dan secara jelas (dapat) membedakan perubahan kualitas produk.

Untuk mendemonstrasikan bioekivalensi (BE)
Untuk pelepasans egera (IR, immediate release) yagn mengandung obat termasuk BCS I atau III. Studio BE in vivo meungkin tidak diperlukan untk perubahan formulasi, lokasi maufaktur,a tau peningkatan skala produksi, jika produk menunjukkan disolusi cepat (yaitu tidak kurang dari 85% terdisolusi dalam 30 menit untuk senyawa (oabt) BCS I, dan tidak kurang dari 85% dalam 15 menit untuk senyawa (obat) BCS III dengan catatan oabt tidak menunjukkan indek terapeutik yang sempit; dan eksipien tidak secara signifikan memperngaruhi absorpsi obat.

Uji disolusi dilakukan dalam berbagai medium disolusi dengan rentang pH 1 – 6.8 , seperti halnya cairan fisiologi dalam salur cerna (GI) manusia.

Untuk sediaan IR yang mengandung obat (senyawa) BCS II, studi BE in vivo mungkin tidak diperlukan lagi untuk menunjukkan bioekivalensi, begitu IVIVC (korelasiin vitro in vivo) sudah ditetapkan karena dalam banyak hal, pelepasan obat secara in vivo merupakan tahap pembatas kecepatan absorpsi obat. IVIVC diharapkan jika disolusi in vitro mirip (similar) terhadap kecepatan disolusi in vivo, kecuali jika dosis produk sangat besar.

Untuk senyawa obat dengan kelarutan tergantung pH, ada kemungkinan untuk menunjukkan bahwa studi BE in vivo tidak diperlukan dnegan cara melakukan disolusi in vitro dengan pH tinggi (5-6.8) yagn secara fisiologis lebih relevan.

Sebagai contoh studi in vivo mungkin tidak diperluakn untuk bahan oabt asam lemah ayng menunjukkan kelarutan rendah dalam asam, kelarutan tinggi (besar) dan cepat pada medium pH 6.8, jika produk beresio dapat diterima. Efek eksipien pada kelarutan dan selanjutnya pada absorbsi obat perlu dipertimbangkan

Untuk sediaan IR yagn engandung senyawa (obat) BCS IV, studi in vivo pada umumnya diharapkan dapat menunjukkan bioekivalensi untuk perubahana formulasi dan proses manufaktur, akan tetapi dalam beberapa kasus, bioekivalensi antara dosis terendah dan tertinggi dari produk yang sama dapat ditunjukkan melalui uji disolusi in vitro sebagai pengganti uji BE, jika kada adalah proporsional dengan dosis, dan jika pendekatan ini ditunjang oleh farmakokinetika secara linier.

Kesimpulan:

Uji disolusi menambah nilai penting selama seluruh proses pengembangan obat (sediaan). Berlaku pula sebagai alat untuk krakterisasi suatu obat (API), emngembangkan, seleksi dan optimisasi formulasi, memperlajari mekanisme pelepasan oabt, menjamin konsistensi antar bets, memantau stabilitas Untuk menunjukkan bioekivalensi sediaan farmasi, erat kaitannya dengan API (BCS), formulasi sediaan, dan proses manufaktur (RH, temperatur)

Tinggalkan komentar